Miss Caj
Namaku Miss Caj, yang berbulu putih dan bermata besar. Aku gemar duduk di depan jendela dari salah satu rumah-rumah Peranakan di daerah Kampong Glam—suatu distrik antik di Singapura yang penuh sudut-sudut berkesan. Daerah ini dulunya adalah kampung tempat nenek moyang Wong Jawa yang berlayar dan menetap sejak zaman pra-kolonial. Waktu itu, pelabuhan-pelabuhan di seantero kepulauan Hindia Timur menjadi pusat perdagangan dunia dengan masyarakat yang majemuk, termasuk dari Polinesia, Cina, Arab, dan Eropa. Permintaan meningkat atas indigo, kopi, gula, dan rempah-rempah lain menjadi akar utama terbentuknya kolonialisme, yang menerapkan perbudakan, segregasi, dan rasisme. Kolonialisme di abad ke-19 menguras kekayaan alam di area ini dan menghalangi perkembangan ilmu penduduk asli. Sekarang sisa-sisa kolonialisme dalam paradigma modern, yang masih membuat kesenjangan epistemik, hanya bisa dibongkar dengan menyusun kembali cerita tentang Asia Tenggara pada era pra-kolonial. Di tempat ini, di balkon indah yang aku saksikan, setiap keping-keping cerita dari sejarah maupun perjalanan pribadi masing-masing pendatang bisa mencerminkan rajutan budaya yang penuh warna dan tidak dipisahkan oleh ras atau kepercayaan tertentu.
Ditulis dan diilustrasikan oleh Melissa Sunjaya