Letter No. 1: Pulsar Dance
The New East Indies
2016
Ditulis oleh Melissa Sunjaya
Ilustrasi oleh Melissa Sunjaya
Abad digital membuka pintu ke dunia yang tak kenal batasan, dimana setiap individu dapat mengakses informasi yang tidak terhingga dengan pesat dari alam semesta sekunder ini. bersamaan dengan ini, perkembangan dalam teknologi transportasi memungkinkan perjalanan jarak jauh untuk ditempuh dalam waktu yang relatif singkat. Kedua sektor ini mempercepat progres dari peradaban kita. Satu hal yang pasti, ada denda yang harus dibayar dari seluruh progres ini. Arus percepatan ini lambat laun menjauhkan empati manusia terhadap lingkungannya, serta mendorong suatu peradaban yang memproduksi polusi secara berlimpah.
Koleksi perdana dari hindia Timur baru ini merenung atas kesadaran untuk mempertahankan keselarasan antara manusia dan Ibu bumi. Wawasan ini diterjemahkan menjadi beberapa haluan baru tentang cara pandang persoalan dan pemecahannya, yang telah diadaptasi dengan pola hidup dalam masyarakat modern. Koleksi ini mencerminkan buah pikir seniman tentang potensi di zaman ini.
a. Tessitura:
meninjau setiap kekacauan dari kacamata yang positif dan mempelajari hubungan antara manusia dan alam semesta. Kata ‘Tessitura’ saya tarik dari bidang musik, yang berarti sebuah tingkat nada yang memberikan tekstur terbaik dan yang nyaman disanggupi oleh suatu sumber musik (alat atau penyanyi). Saya menafsirkan Tessitura dengan muka orangutan yang kepanasan sebagai subjek. Saya mencoba menggambarkan kondisi habitat mereka yang terkena dampak kebakaran hutan yang berasal dari kecerobohan manusia atas eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
b. Filogenesis:
‘Filogenesis’ adalah perkembangan evolusi dan diversifikasi makhluk hidup. ‘Filogenesis’ dalam esai saya menyimpulkan sebuah perubahan baru serta mendefinisikan sebuah identitas baru. Aku memanifestasikan arti kata ini dengan sebuah kalimat satir ‘Orang Gak Punya Utan’, masih dalam konteks yang sama dengan subjek orangutan. Dengan banyaknya bencana kebakaran hutan, secara tidak langsung mereka tidak memiliki hutan dan kitapun sebagai manusia juga akan merasakan kerugian yang luar biasa akibatnya kurangnya pasokan oksigen. Itupun baru salah satu kerugiannya.
c. Deformasi:
Suatu sikap diri yang meneliti ketidaksempurnaan dan menelanjangi kekurangan yang kita miliki. melalui transparansi sikap ini, keangkuhan dalam individualisme sengaja dihilangkan untuk menyadarinya pentingnya meruntuhkan ego, memusnahkan kedok lama, serta menyusun karakter yang baru. Saya memvisualisasi sikap dekonstruktif ini ke dalam sebuah cipratan tinta yang menyuarakan ledakan.
d. Fuga:
Suatu sikap untuk melupakan kesempurnaan yang sukar didapat dan lebih melihat apa yang bisa kita peroleh saat ini untuk kemajuan hari esok. Saya percaya impian yang ingin dicapai bukanlah hal mustahil. Jika sulit direalisasikan, kita hanya tinggal melukis ulang mimpi kita. Saya memvisualisasikan sikap ini dengan sebuah komposisi coret-coretan yang saling bertabrakan secara kacau antara mimpi dan realita.
e. Transgresi:
Suatu sikap pertahanan interior diri yang diterapkan secara damai dan disiplin dalam membantah serangan dogma dari zaman lama yang berniat untuk menumbangkan semangat baru. ‘Transgresi’ berinti pada pembangunan kekuatan jasmani yang bergandengan dengan kedewasaan rohani manusia dalam melindungi hak dan teritorinya. Saya memvisualisasikan sikap ini dengan sebuah garis batasan yang dibentuk dengan tinta yang meleleh tanpa kendali.
f. Deviasi:
Suatu sikap dalam memecahkan masalah yang dilakukan dari segala arah untuk mencapai visi ke tingkat yang lebih tinggi ataupun lebih mulia. Saya melihat ada hasrat dalam komunitas kita untuk berubah, dan semua aspek tengah didefinisi ulang. Kebenaran menjadi suatu hal yang absolut dan bukanlah kepentingan sejumlah golongan. Saya memvisualisasi sikap ini dengan sebuah komposisi Tentakular yang menggambarkan sebuah eksistensi yang tidak tersegmen dan tidak memilih.
(Buku Esai Lengkap, tersedia untuk dikoleksi)