Bio Fantasy

Layaknya mahkota yang membara di atas wajahnya yang pucat, lembar demi lembar serabut dari rambutnya yang tembaga mengalun dan mengayun seiring dengan irama arus. Dengan kedua matanya terpejam, pikirannya menyala walau tanpa terganggu sedikitpun oleh keberjalanan waktu. Dia telah tertidur di dalam tabung laboratorium selama hampir tiga ratus delapan puluh delapan ribu menit. Lingkungan hidup di sekitar dirinya adalah suatu zat yang elastis dan terdiri dari cairan menyerupai kabut yang bergerak perlahan dalam gelombang yang saling menyilang. Tulang punggungnya yang melengkung membentuk tubuh mungilnya seperti kepompong yang bergerak pelan dengan tenang dalam sebuah bola tipis yang bentuknya senantiasa berubah bentuk mengikuti getar denyutnya.
 
Kepadatan udara dalam ruang tersebut memberikan keseimbangan dan perlindungan sampai tiba-tiba, sekelebat gelembung udara menerpa wajahnya dan membuat matanya yang coklat terbuka. Dalam seketika, semestanya mulai bergetar dan pecah menjadi jutaan partikel-partikel berbusa, mengubah selaput pelindungnya menjadi serupa gaun yang menggantung dan mengembang seperti payung ketika dia memutar badannya. Entitas ini kemudian meregang badannya yang semampai dan juga semua tungkainya, membuatnya meraih salah satu gelembung yang bertebaran di sekitarnya. Di dalam gelembung-gelembung lain, hiduplah pula makhluk hidup lain. Beberapa entitas masih berinkubasi di dalam bola kecilnya masing-masing. Warna-warna bertebaran sepanjang keseluruhan adegan yang sungguh megah; serbuk-serbuk warna merah mawar, kabut putih-kekuningan, dan cahaya-cahaya biru langit. Dia adalah sel mikroskopik yang dibuat secara khusus untuk membangkitkan emosi dan memulihkan kehidupan kembali kepada benda mati. Hari ini, dia telah dewasa secara sel, dan dia menyeruak dari selimutnya, menyampaikan kesiapannya.
 
Sel itu adalah harapan bagi banyak orang. Ilmuwan muda yang menciptakannya dengan hati-hati memisahkannya dari ekosistemnya, dan memasukkannya ke dalam sebuah suntikan khusus yang memang diperuntukkan untuk membawa serum. Dia menyimpan tabung itu dengan hati-hati, dan menulis ‘Aku {serum no. 074}’ dengan tangan kirinya yang hanya memiliki tiga jari. Tangan kiri itu telah menjadi perangkat yang luar biasa baginya. Banyak sekali pekerjaan yang dikerjakan dengan sangat terampil dan teliti, apalagi bila dibandingkan dengan tangan kanannya yang terlihat normal. Punggung lehernya ditandai dengan sebuah tato yang bergambar tiga titik yang berhubungan. Dua puluh tahun lalu, tanda ini diberikan secara paksa pada ilmuwan muda itu oleh pemerintah setempat, untuk menandai tingkat sosialnya sebagai bagian dari generasi yang termutasi. Penandaan ini adalah awal dari kematian yang menyakitkan. Individu-individu dengan tanda ini kehilangan hak mereka sebagai warga untuk memilih, dan selanjutnya kehilangan hak-hak kependudukan lainnya. Hukum ini berdampak sangat besar pagi para mutan-mutan ini. Banyak di antara mereka kehilangan pekerjaan, dipisahkan dari keluarga, dan pada akhirnya mereka dibuang dari masyarakat.
 
Semuanya dimulai dari kekayaan bentangan kepulauan yang subur ini. Persediaan sumber daya alam yang melimpah dan warisan-warisan budayanya menjadi sasaran untuk banyak orang yang serakah. Saat itu tahun 2942, hampir satu milenium setelah kemerdekaannya dari penjajahan asing. Pada saat teknologi berkembang pesat dan kondisi ekonomi terasa lancar, infrastruktur negara dalam bidang pelayanan masyarakat dan keamanan nasional masih cenderung rapuh. Hidup terasa sangat mudah untuk beberapa lapisan masyarakat tertentu, tapi sangat tidak adil terhadap rakyat kebanyakan. Kondisi ini memberi atmosfer yang ideal bagi politikus-politikus ambisius dari daerah-daerah tetangga. Mimpi buruk dimulai ketika suatu virus yang berbahaya dicampurkan ke dalam produk-produk komersial seperti pupuk, pewarna makanan, dan bahan pengawet. Virus ini menyebar ke seluruh penjuru negara, dan mengkontaminasi air yang diminum, udara yang dihirup, dan tanah yang dipakai untuk menanam makanan. Dalam jangka waktu kurang dari dua belas bulan, virus ini menimbulkan perubahan-perubahan fisik pada banyak sekali orang. Virus ini melumpuhkan atau bahkan menghilangkan bagian-bagian tubuh manusia, dan salah satu kasus ini terjadi pada si ilmuwan muda. Khususnya untuk tipe mutasi ini, serangan virus akan meninggalkan otak penderitanya utuh. Seiring dengan impuls alamiah untuk terus bertahan hidup, populasi kecil yang menderita mutasi ini mengenyampingkan kecacatan yang terjadi dan melatih dirinya menjadi unggul di sektor lain. Beberapa diantara korban mutasi ini bahkan menambah kapasitas yang mereka miliki dengan menggunakan kemajuan teknologi, dan lambat laun fungsi tubuh mereka tergantikan dengan mesin dan menjadi manusia setengah robot. Bentuk mereka yang tidak serupa dengan manusia biasa dipandang oleh masyarakat umum sebagai aib dan wabah yang membahayakan. Saat itu, seluruh negeri menjadi takut mutan, bahkan para mutan pun takut dengan apa yang terjadi dengan perubahan fisik yang tidak lazim. Pemerintah segera memerintahkan agar para mutan tersebut ditangkap. Kondisi inilah yang membuat ilmuwan muda itu dan beberapa mutan lainnya yang berhasil lolos dari sergapan pemerintah untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan mendeklarasikan diri mereka sebagai pemberontak.
 
Tidak banyak yang sadar bahwa mutasi itu sebenarnya terjadi secara perlahan di seluruh populasi. Permasalahan yang sebenarnya baru terjadi di tipe kedua dari mutasi tersebut: Mutasi pada sinaps. Virus menyerang saluran sinaps di otak dan mengubah persepsi yang diproses oleh sel-sel otak, dan dengan perlahan mengubah karakter individu tersebut. Ini adalah ancaman yang tidak terlihat sama sekali. Mutasi ini mengubah fungsi-fungsi neurotransmitter dalam otak manusia tanpa mengubah struktur biologisnya. Penyakit ini tidak dapat dideteksi dengan mudah oleh perangkat medis yang paling mutakhir sekalipun, tetapi mutasi ini mencemari bagian populasi yang tidak terkena mutasi yang terlihat secara fisik. Secara bertahap, mutasi ini mengubah pikiran rasional menjadi delusi. Orang-orang yang terkena mutasi ini terlihat normal, tetapi mereka kesulitan menggunakan akal sehat, empati, dan intuisinya.
 
Bahaya menjadi nyata ketika orang-orang yang termutasi dalam pikirannya ini menganggap bahwa mereka adalah ras yang paling mulia. Mereka menamakan diri mereka ‘Amisrita’ (Sansekerta dari ‘murni’) untuk membedakan diri mereka dari orang-orang yang termutasi secara fisik. Virus ini dengan cepat memunculkan generasi ‘Amisrita’ yang egosentris dan hanya memikirkan diri sendiri. Para ‘Amisrita’ pun berhasil mengambil alih pemerintahan dan berbagai bagian vital dari negara. Perundang-undangan dan hukum dibentuk dengan dasar keuntungan pribadi dan keuntungan jangka pendek. Tindak kriminal dan kerusuhan berkembangan di berbagai kota besar. Keluh kesah rakyat kecil tidak terdengar sama sekali. Isu-isu sosial dan lingkungan pun dikesampingkan secara berlarut-larut.
 
Baru setelah satu dekade dari serangan virus pertama, negara yang korup itu akhirnya kehabisan sumber daya alam. Beton belantara dan berlapis-lapis jalan layang dibangun dengan sembrono di seluruh kepulauan. Beberapa area maritim bahkan diubah menjadi daratan untuk daerah perkembangan industri. Hampir seluruh terumbu karang hancur. Selat-selat besar mulai kering , dan samudra-samudra semakin menghilang. Banyak sekali spesies tropis yang punah. Kepunahan ini memunculkan suatu spesies yang memiliki struktur molekul tubuh yang jauh lebih kokoh. Banyak di antaranya adalah spesies serangga yang memiliki warna yang cerah dengan bentuk-bentuk yang indah. Spesies-spesies baru ini pun memiliki tingkat kepintaran di atas manusia, dan lebih buas dan biadab. Spesies yang paling buruk adalah serangga raksasa Periplaneta Interitus, serangga terbang berwarna gelap dengan ukuran sebesar banteng, dan mereka menjadi predator terkeji manusia.
 
Setelah bertahun-tahun digempur, negara itu pun runtuh. Daerah itu menjadi sekerumunan struktur beton tidak teratur tanpa tanda-tanda kehijauan dan air bersih. Pemerintahan sudah tidak ada lagi, dan manusia pun tersingkirkan. Pada tahun 2964, kehidupan sudah tidak ada lagi, selain abu dan terumbu mati. Akhir telah datang.
 
Ketika ilmuwan muda dan teman-teman pemberontakannya mengelak dari pemerintah yang berusaha membasminya dua puluh tahun lalu, mereka pergi dari kota-kota besar dan menempati pulau kecil yang terisolasi. Terletak tidak jauh dari Tanö Niha, tempat kecil itu sangat mungkin adalah tempat terakhir dimana terumbu karang masih hidup. Pemandangan yang mengelilinginya sangat indah dengan ombak yang menawan. Beberapa dari mereka membuat papan panjang dari pohon-pohon bakau, dan menggunakannya untuk mengeksplorasi keindahan maritim tempat tinggal mereka yang baru.
 
Banyak di antara mereka adalah ilmuwan dan akademisi yang mendambakan kedamaian. Mereka percaya bahwa takdir membawa mereka bersama di dalam tempat baru ini untuk membangun ulang rumah dan masa depan yang lebih terstruktur. Menemukan serum yang bisa memulihkan kembali kehidupan menjadi sebuah misi mereka bersama. Mereka mulai mengumpulkan spesimen-spesimen dari berbagai tumbuhan yang hampir punah. Lewat bantuan dari penduduk setempat, para pemberontak ini membentuk laboratorium rahasia di bawah tanah. Laboratorium ini menjadi tempat berlindung mereka, di mana mereka melakukan eksperimen atas formula-formula untuk menyembuhkan mutasi genetis dan serum yang dicari tersebut. Tempat ini tersembunyi, dan jauh dari kontaminasi virus dan bahaya lainnya; kondisi yang kontras dari malapetaka di hidup mereka sebelumnya.
 
Di atas pulau itu juga, sang ilmuwan muda jatuh hati pada seorang antropologis dengan nama samaran Ayati. Dia adalah seorang manusia setengah robot perempuan yang kehilangan pendengarannya di sisi kiri karena terkena kontaminasi virus. Kini, telinga kirinya tersusun dari perangkat fiber optik yang terhubung dengan syaraf-syaraf otaknya. Penampilannya menjadi sedikit unik dengan perangkat tersebut, karena adanya sambungan yang tampak seperti tumbuhan kosmik dari sisi kiri wajahnya, walau begitu dia tetap terlihat anggun. Ada sebuah misteri dari Ayati yang menarik hati si ilmuwan muda. Dia bertanya mengapa Ayati memilih nama itu sebagai nama samarannya. Ayati menjelaskan bahwa nama tersebut adalah kode yang dia pakai pada seluruh esai-esai buatannya, dalam usaha menyembunyikan identitas dirinya dari pemerintah. Nama itu diadopsi dari manuskrip tua yang diberikan oleh orang tua Ayati ketika dia masih sangat kecil.
 
Manuskrip berharga itu merupakan antologi puisi dan prosa yang dibuat oleh penyair legendaris kuno bernama Chairil Anwar. Ayati sering mengutip puisi-puisinya yang dia bacakan dari manuskrip tua itu, yang kini sudah terlihat lelah karena dibaca terus menerus, ketika si ilmuwan muda dan teman-temannya sedang bekerja lembur di laboratorium. Suara Ayati yang dalam dan tenang menimbulkan bio-fantasi bagi para ilmuwan itu, menyemangati mereka untuk terus berusaha menemukan formula yang tepat untuk serum yang mereka cari. Bagi para ilmuwan tersebut juga, suara amarah dan semangat yang dimiliki oleh sajak-sajak Chairil Anwar mengingatkan mereka pada misi awalnya untuk merebut kembali kemanusiaan mereka. Bahkan dalam realitas yang sama sekali baru, Chairil Anwar berhasil menumbuhkan ide baru dalam jiwa pendengarnya.
 
Chairil Anwar menjadi topik diskusi para pemberontak di setiap malam yang panjang. Ayati dapat menarik hubungan antara pekerjaan para ilmuwan tersebut dengan pesan tersirat dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Puisi-puisi Chairil Anwar memiliki kecenderungan untuk menggabungkan partikel-partikel sederhana dalam bahasa, dan membentuknya untuk mengartikulasikan emosi-emosi yang menyala. Sejajar dengan kecenderungan ini, sel-sel yang diambil dari kehidupan masa lalu mereka juga adalah satu-satunya unsur yang dibutuhkan dalam pembuatan serum ini. Dalam pandangan Ayati, unit-unit biologis kecil ini membutuhkan emosi untuk ber prokreasi dan meregenerasi diri mereka. Para pemberontak tidak dapat mencapai apa yang mereka coba capai dengan rasio-rasio konvensional dan nilai-nilai kuno. Keyakinan dan semangat harus disertakan juga dalam pekerjaan mereka. Mereka harus mengerti bahwa identitas mereka seharusnya tidak harus selalu ditentukan oleh bentuk mutasi fisik mereka ataupun kesalahan mereka di masa lalu. Hanya dengan hati terbuka dan perspektif yang berani, mereka dapat menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam ilmu. Seringkali, beberapa di antara mereka akan menemukan kebuntuan dalam riset mereka dan menjadi frustasi atas kegagalan mereka. Dalam waktu-waktu keputusasaan, Ayati sering mengaitkan karya Chairil Anwar dengan hukum pertama termodinamika:
 
Dalam ilmu fisika, hukum kekekalan energi menyatakan bahwa total energi dari suatu lingkungan yang terisolasi akan tetap konstan, dan tersimpan sepanjang waktu. Energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain tapi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan.
 
Seperti Chairil Anwar, Ayati percaya bahwa dunia mereka tidak pernah hilang ataupun hancur. Energi kehidupan yang dimiliki oleh dunia mereka selalu tersimpan dalam sistem semesta yang maha bisa, dan oleh karena itu semua aksi menjadi dapat diputarbalikkan.
 
Ayati memiliki rahasia, dia tahu kalau dia tidak akan hidup lama. Mutasi yang terjadi dalam tubuhnya mempengaruhi kinerja sel darah putihnya seperti serangan kanker, dan membuat sistem pertahanan hidupnya semakin lemah setiap harinya. Walau begitu dalam kondisi ini semangat Ayati tetap kuat. Sampai hari-hari terakhir hidupnya, dia terus mencoba untuk mendokumentasikan konsepnya sendiri tentang dunia baru. Ketika dia akhirnya memberi tahu rahasia ini pada si ilmuwan muda, Ayati bersikeras agar tubuhnya digunakan untuk membantu eksperimentasi ilmiah mereka. Ini adalah puisi terakhir dari Ayati, yang ditulis semalam sebelum dia meninggal:
 
aku terjaga dalam ketersiaan
dan mengais teduh dalam gema
katamu mengalir di aliran badan
bangkitkan apa yang pernah sirna
 kau hembus mutasi genetis
menembus serangan kimia elektris
siapa kau, siapa aku
bukan mereka, atau siapa-siapa
sel yang hidup ‘kan mati saja
hanya ketika indera berhenti mengerti

 
Secara tidak terduga, para pemberontak pada akhirnya menemukan bahwa sel darah dari tubuh Ayati yang telah bermutasi mengandung suatu susunan DNA yang sangat unik dan sangat penting bagi pembentukan serum. Menggunakan sel hidup yang diekstrak dari tubuh Ayati, Serum hasil itu diinkubasi selama hampir sembilan bulan hingga akhirnya mencapai tingkat kematangan.
 
Hari ini adalah hari yang besar bagi mereka. Si ilmuwan muda membawa suntikan kecil di tangannya sambil berjalan di antara bangkai terumbu karang. Dengan bagian kecil dari Ayati, kini ada harapan baru tentang hidup. Sebuah awal yang murni bagi Hindia Timur Baru. Ayati tidak pernah lekang dari hati si ilmuwan muda. Dia akan hidup seribu tahun lagi.
 
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
 
“Aku” by Chairil Anwar (1943)