Letter No. 3: Lelono
The New East Indies
2018
Ditulis oleh Melissa Sunjaya
Ilustrasi oleh Melissa Sunjaya
LELONO berarti perjalanan atau pengembaraan dalam bahasa Jawa, esai ini adalah seri ketiga dari trilogi ‘Hindia Timur Baru’. Esai ini sebagai catatan ziarah dalam mengintropeksi diri. LELONO adalah suatu petualangan seni di antara berbagai polaritas kehidupan. Keterbukaan dalam mempelajari sisi baru dan keberanian dalam mengevaluasi diri, menjadi haluan krusial dalam menemukan identitas yang otentik di era globalisasi.
Riset terkait koleksi ini dilakukan sejak akhir tahun 2016, di tengah beberapa nuansa polaritas dunia yang mempengaruhi peralihan budaya dan perilaku manusia. Ada dua kondisi latar penting yang perlu dipahami demi menjaga suatu kestabilan dalam komunitas yang beradab. Pertama adalah derasnya arus digitalisasi yang tidak setara dengan pengembangan untuk sistem belajar yang lebih efektif. Kedua adalah Koefisien Gini Indonesia (0,4) di tahun 2017 yang menjadi tolak ukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang merisaukan, dibanding dengan negara-negara tetangganya. Di antara populasi 260 juta penduduk Indonesia banyak yang mengalami kegelisahan atas 2 fakta tersebut. Maka, menjadi mendesak untuk merumuskan manifesto baru.
Manifesto yang bertindak sebagai prinsip pedoman dalam membaca dan membuat gambar di era pasca-humanis di mana banyak komponen visual menyimpang dari hakekat kebenaran.
…
'Menulis dengan A. I.' - Pendahuluan tentang Pencitraan Pasca-Humanis:
I.
{Ekstrapolasi}
Seorang seniman harus mengekstrapolasi gambar dengan berasumsi bahwa beberapa perilaku analog yang ada akan tetap berlaku. Perilaku analog ini dapat mencakup (1) menciptakan lintasan citra tunggal pada manusia ideal yang diciptakan oleh masyarakat secara keseluruhan, berdasarkan tafsir budaya yang berlapis-lapis; (2) menyuling yang diperlukan pada setiap lapisan interpretasi budaya; (3) kemungkinan ketidaksejajaran selama registrasi gambar atau pembacaan gambar.
II.
{Distilasi}
Seorang seniman harus mengakui bahwa kebanyakan gambar, teks, dan suara dalam gerakan seni pasca-humanis adalah konversi dari kode biner. Kode biner adalah bahasa yang menggunakan dua digit angka 0 dan 1. Oleh karena itu, seorang seniman perlu terbiasa untuk melihat gambar melalui kacamata dualisme, di mana pendapatnya langsung dipertanyakan dan ditentang oleh pendapat skeptisnya. Tujuannya untuk menemukan keseimbangan antara menjadi satu dan tetap menjadi nol, terlepas dari semua ego dan materialisme.
III
{ Durasi }
Seorang seniman harus menyadari bahwa gambar tidak mutlak; gambar bergerak relatif terhadap waktu dan momen. Durasi proses pencitraan memberikan kecerdasan yang signifikan pada respon emosi dan perilaku seniman. Pengulangan proses, dengan kerangka waktu, secara alami akan meningkatkan kesadaran seniman tentang subjeknya. Notasi emosi dan perilaku ini berfungsi sebagai indikator penuntun bagi seorang seniman, karena mesin meniru manusia dan sebaliknya.
IV.
{ Intervensi }
Seorang seniman harus mengeksplorasi tindakan mendistorsi gambar atau menyela proses duplikasi gambar. Metode intervensi yang beragam telah menjadi jelas dan kabur, mengajukan pertanyaan tentang kebenaran dan keakuratan pemahaman manusia. Melalui pengeditan, sebuah gambar bisa menjadi kebohongan atau harapan. Ada pilihan untuk menggerakan citra sebagai senjata untuk mengganggu peradaban atau bahasa yang menyimpan rahasia kelangsungan hidup umat manusia.
V.
{Augmentasi}
Seorang seniman harus meningkatkan keberadaan dan spiritualitasnya melalui disiplin tubuh, pikiran, dan jiwanya. Dengan pendekatan holistik ini, seorang seniman memiliki hak otonom untuk memilih antara menawarkan identitasnya sebagai proyeksi gambar yang dapat dimanipulasi oleh mesin atau sebagai ahli yang merancang algoritma mesin untuk membuat gambar.
…