Love Letter of Roro Mendut

Ditulis dan DiIlustrasikan oleh Melissa Sunjaya
 
Dahulu kala hiduplah seorang putri dengan jiwa pemberontak bernama Mendut. Di istana, ia dihormati dengan gelar kebangsawanan, Roro Mendut, namun di antara teman-temannya ia dikenal sebagai Si Mungil Mendut. Kabar mengenai kecantikan dan suaranya yang merdu tersebar ke segala penjuru, tetapi mereka yang mengenalnya dengan baik menyayanginya karena kebajikan dan semangatnya yang begitu besar.
 
Mendut hidup pada saat pernikahan antar bangsawan dilakukan untuk menjaga perdamaian dan keteraturan selama perluasan daerah kekuasaan Kerajaan Mataram (kerajaan paling kuat di Kepulauan Timur). Kala itu, para pria membunuh dengan kejam demi kekuasaan dan wanita hanya dianggap sebagai komoditas. Karena kedudukan sosial keluarganya, Mendut dijodohkan dengan komandan angkatan laut yang paling berkuasa.
 
Dengar baik-baik, karena ada sisi sang Putri yang tidak diketahui siapa pun. Si Mungil Mendut memiliki hati yang mulia dan peka sehingga ia dapat berkomunikasi dengan binatang dan tanaman. Ia memelihara pohon cabai dan cengkeh dengan aroma memikat di balkon rumahnya. Setiap pagi di hadapan tanamannya, ia menyanyikan lagu mengenai kebebasan dan petualangan ke negeri seberang.
 
Temannya yang paling dekat adalah seekor merpati putih bernama Luca. Luca menyimpan rahasia terdalamnya dan mengantarkan surat-surat pribadinya. Dialah yang menyampaikan berita tentang rencana pertunangan Mendut. Saat mendengar berita ini, tubuh Mendut gemetar dalam kesedihan. Ia telah jatuh cinta pada seorang pria yang bekerja di kandang kuda milik istana. Jika Mendut menolak lamaran itu, tarif upeti di daerahnya akan melonjak tinggi. Situasi ini akan membuat rakyat yang dikasihinya menderita. Air mata mengalir di pipinya saat ia mulai menulis surat untuk kekasihnya.
 
Di balik keinginan yang tulus, aku menemukan keberanian dan kekuatan untuk melangkah.

Di antara kepercayaan rakyatku dan keinginan terdalamku, aku mendambakan perjalanan yang tidak mempertaruhkan kedua sisi.

Di atas tanah tak bertuan, aku memimpikan tarian yang menyerukan kebebasan.

Melalui jalan harapanku yang sempit ini, aku mencari pelukan hangat dan kelembutanmu.
Milikmu selalu, M.