Bawang Putih & The Night Sky

Diterjemahkan oleh Rassi Narika
Ilustrasi oleh Myra Bianda

 
Bawang Putih mengingat malam saat ibunya menghembuskan nafas yang terakhir. Ayahnya memeluknya sambil berbisik, “Ibu terbang ke surga dan menjadi bintang-bintang di langit.” Kata-kata inilah yang kembali menenangkannya saat sang ayah tiba-tiba meninggal dunia. Setelah ayahnya dimakamkan, Bawang Putih pergi ke padang rumput di belakang rumahnya, sementara ibu dan kakak tirinya, Bawang Merah, pulang ke rumah. Semalaman Bawang Putih menantikan datangnya sang bintang baru. Bintang itu akhirnya muncul saat rerumputan mulai diselimuti oleh embun pagi.
 
Bawang Putih percaya bintang-bintang adalah malaikat pelindungnya. Dia berbicara kepada mereka layaknya sahabat. Para penduduk desa mulai cemas saat Bawang Putih sering pergi ke hutan di malam hari dan pulang di pagi berikutnya. Di dalam hutan ada sebuah dataran tinggi tempat Bawang Putih memandangi langit malam kala hatinya gundah. Khayalannya melayang ke raja dan ratu negeri antah-berantah yang membentuk gugusan bintang Cassiopeia kesukaannya. Konfigurasi langit ini juga memberikan tanda pergantian musim sehingga Bawang Putih bisa menyiapkan musim tanam di perkebunannya.
 
Perkebunan itu adalah satu-satunya peninggalan ayahnya. Perkebunan ini dulu memberi banyak keuntungan. Namun, hasil panen yang didapatkan saat ini tidak mampu lagi mengimbangi gaya hidup ibu tiri dan Bawang Merah yang mewah. Mereka seringkali menindas Bawang Putih dan cemburu kepadanya tanpa alasan yang jelas. Suatu malam Bawang Merah memaksa Bawang Putih pergi
ke sungai di dalam hutan untuk mencari selendang sutranya yang tertinggal. Ketika ia telah melewati pohon-pohon di jalan yang telah begitu dikenalnya, dia melihat sinar bulan berwarna biru temaram menyinari sebuah rumah kayu tua.
 
“Aneh, aku tidak pernah melihat pondok itu sebelumnya,” pikir Bawang Putih sambil mendekati bangunan itu. Dari jendelanya, Bawang Putih melihat seorang raksasa sedang memasak di perapian. Raksasa itu menggunakan selendang Bawang Merah untuk memegang panci. Bawang Putih sangat senang karena berhasil menemukan selendang itu. Tanpa ragu Bawang Putih mengetuk pintu, “Maaf mengganggu, Tuan, tapi yang Tuan gunakan itu adalah selendang milik kakak saya dan saya ingin mengambilnya kembali.” Orion, si raksasa pemburu itu terkejut melihat seorang gadis ayahnya. Perkebunan ini dulu memberi banyak keuntungan. Namun, hasil panen yang didapatkan saat ini tidak mampu lagi mengimbangi gaya hidup ibu tiri dan Bawang Merah yang mewah. Mereka seringkali menindas Bawang Putih dan cemburu kepadanya tanpa alasan yang jelas. Suatu malam Bawang Merah memaksa Bawang Putih pergi
ke sungai di dalam hutan untuk mencari selendang sutranya yang tertinggal. Ketika ia telah melewati pohon-pohon di jalan yang telah begitu dikenalnya, dia melihat sinar bulan berwarna biru temaram menyinari sebuah rumah kayu tua.
 
“Aneh, aku tidak pernah melihat pondok itu sebelumnya,” pikir Bawang Putih sambil mendekati bangunan itu. Dari jendelanya, Bawang Putih melihat seorang raksasa sedang memasak di perapian. Raksasa itu menggunakan selendang Bawang Merah untuk memegang panci. Bawang Putih sangat senang karena berhasil menemukan selendang itu. Tanpa ragu Bawang Putih mengetuk pintu, “Maaf mengganggu, Tuan, tapi yang Tuan gunakan itu adalah selendang milik kakak saya dan saya ingin mengambilnya kembali.” Orion, si raksasa pemburu itu terkejut melihat seorang gadis
pemberani di depan pintunya. Tawanya membahana lalu menjawab, “Aku turun
meninggalkan bintangku hanya saat bulan berwarna biru, dan kau adalah tamu pertamaku. Rasanya tidak sopan jika aku tidak mengundangmu makan malam di rumahku yang sederhana ini, oh, Tuan Putri yang baik hati.”
 
Orion lalu berkisah tentang langit dan bintang. Ia mengetahui cerita keluarga kerajaan Cassiopeia dan bintang-bintang tempat orangtua Bawang Putih tinggal. Waktu pun berjalan cepat dan tanpa sadar sinar matahari pagi mulai memasuki ruangan. Saat Bawang Putih berpamitan, Orion membawa dua guci tanah liat, “Pilihlah satu guci dan bawalah sebagai kenang-kenangan dariku.” Bawang Putih yang rendah hati memilih guci terkecil. Ia lalu memeluk Orion dan berbisik, “Tolong sampaikan pelukan ini kepada orangtuaku. Aku sangat merindukan mereka.”
 
Saat Bawang Putih menceritakan malam yang dilaluinya kepada ibu tiri dan Bawang Merah, mereka dipenuhi dengan kecemburuan. Guci yang Bawang Putih bawa berubah menjadi emas dan perhiasan saat sinar matahari menyentuhnya. Mereka pun pergi mencari sang raksasa untuk mendapatkan guci bagi mereka. Namun, tidak ada yang tahu kapan bulan berwarna biru akan datang lagi. Kerakusan akan harta membuat mereka terus mencari sang raksasa tanpa pernah menemukannya.
 
Bawang Putih, yang kini telah bebas dari orang-orang yang menindasnya, kembali ke dataran tinggi di hutan untuk menemui sang langit malam. Berselimutkan sinar bintang, Bawang Putih tertidur. Di dalam mimpinya, ia bertemu kembali dengan temannya yang baik hati dan orangtua yang ia cintai. Mereka menyenandungkan kata-kata penuh kebijakan:
           
“Kedengkian seperti awan yang menggantung di langit malam, menutupi indahnya bintang dan menghalangi kekuatan yang kau miliki.
Ketulusan hatimu adalah bintangmu yang selama ini telah hadir.
Janganlah cemas akan yang lain, semua yang kau perlukan sudah kau miliki.”